Friday, March 30, 2018

Review Arena Bermain Apple Bee Mall Taman Anggrek


Apple Bee TamanAnggrek (personal doc)


Salah satu keuntungan menjadi ibu di rumah yaitu bisa plesiran kapan saja. Kebetulan si kakak sekolahnya baru 3 kali seminggu, di sela harinya bisa deh bertualang bersama bunda. Tentunya disesuaikan dengan budget dan stamina anak-anak.

Kali ini saya dan beberapa teman janjian bertemu sambil menemani anak-anak bermain alias playdate. Lokasinya di Apple Bee Mall Taman Anggrek. Mall ini bisa dibilang cukup jauh dari tempat tinggal kami di Cinere. Tapi kami berangkat di saat jam sibuk sudah lewat sehingga tidak macet. Satu jam perjalanan lumayan memberi kesempatan anak-anak untuk tidur.

Harga tiket masuk normal 110 ribu rupiah. Beruntung kami dapat potongan dari La coupon menjadi 65 ribu rupiah per anak. Jangan lupa memakai kaus kaki sendiri dari rumah. Kaus kaki wajib dipakai baik oleh anak maupun pendamping. Kalau lupa disana disediakan, tapi beli ya. Untuk makan dan minum, disana dijual cemilan dan minuman ringan dengan harga cukup terjangkau. Minuman semacam fruit tea botol harganya 10 ribu rupiah. Ada juga brownies dan roti isi seharga 8 ribu rupiah.

Apple Bee Taman Anggrek (persona doc)
Disambut oleh mbak-mbak yang ramah, kita diminta untuk mengisi buku tamu, serta menuliskan nama-nama anak yang akan bermain. Pendamping tidak dikenakan biaya.

Apple Bee Taman Anggrek (personal doc)
Kolam bola putih dilengkapi dua buah perosotan yang cukup rendah disediakan untuk toddler.

Apple Bee Playgound Taman Anggrek (personal doc)



Area sensori berupa kolam pasir hijau, kolam biji jagung, dan biji kayu sungguh menarik untuk anak-anak. Mereka mencoba semua kolam sensori ini sampai terlihat sudah lelah.

Kolam Jagung Apple Bee Taman Anggrek (personal doc)



Apple Bee Playgound Taman Anggrek (personal doc)


Pasir hijau yang cantik membuat ibunya pun gemas dan ikut bermain. Sepatu boots wajib dipakai anak-anak di kolam ini. Untuk pendamping disediakan sandal empuk dan tebal.

Apple Bee Playgound Taman Anggrek (personal doc)


Bermain peran masak di area dapur yang cukup luas, dilengkapi kompor dan tempat mencuci piring mini. Terdapat juga lemari dan kabinet penyimpanan, lengkap seperti dapur ibu-ibu. Rasanya ingin dibawa pulang deh melihat barang-barang di dapurnya 😅.

Apple Bee Playgound Taman Anggrek (personal doc)


Masih di area dapur, rak sayur-sayuran dan buah-buahan yang melimpah. Ah, ini seru sekali untuk dibuat bermain peran shopping di supermarket.

Apple Bee Playgound Taman Anggrek (personal doc)


Di bagian atas area sensori, terdapat ruangan bermain lego. Kami tidak sempat kesana karena anak-anak masih terlalu asik bermain dibawah. 

Apple Bee Playgound Taman Anggrek (personal doc)


Saya agak bingung menyebut area ini. Mari kita sebut saja taman balok busa raksasa. Karena balok-balok tersebut terbuat dari busa berukuran besar dan cukup berat. Di dindingnya terdapat rak panjat tembus pandang.
 


Apple Bee Playgound Taman Anggrek (personal doc)


Setelah kolam bola, main pasir dan biji-bijian, main peran, lanjut lompat-lompatan di trampolin. 

Banyak yaa, masih ada beberapa area dan pilihan mainan lain lho. Untuk batas waktu 3 jam yang diberikan mungkin ngga bisa enjoy semua mainan dalam sekali kunjungan. Tapi bagi balita sih 2 jam saja sudah melelahkan. Kalau saja dekat dengan rumah, mau deh sering-sering kesini. 

Recommended mak!!








Tuesday, March 13, 2018

Pengalaman Naik Skytrain


Inside skytrain (pict by yulia rahmita)


Beberapa waktu lalu, kami mengantar nenek dan atuknya anak-anak ke bandara. Nenek dan atuk mau berlibur sambil mengunjungi cucu-cucu disana. Kebetulan kakak saya ikut suaminya tinggal disana. Agak drama ketika berdadah-dadah melepas atuk dan nenek masuk gate. Si kakak dan adik menangis minta ikut. Kami berusaha membujuk dengan menawarkan makan kentang goreng lalu naik skytrain. Kebetulan ayahnya juga lapar karena belum sarapan.

Setelah makan secukupnya, kami menanyakan lokasi stasiun skytrain. Waktu itu lokasi kami di terminal 3. Ternyata tempatnya persis diatas terminal kedatangan. Terasa sangat santai berjalan menelusuri terminal 3 yang tinggi dan sangat luas. Untuk yang membawa stroller, disediakan lift ke lantai atas tempat stasiun skytrain.

Di stasiun skytrain, ada seorang bapak petugas yang menyambut. Bapak tersebut menginformasikan bahwa sedang ada sedikit kerusakan dengan sistem skytrain. Huhu, kecewa setelah sudah cukup jauh berjalan dan berharap. Ya sudah, kami turun lagi menuju parkir. Untuk menghibur, kami mengajak anak-anak ke salah satu playground baru di sebuah mall. Kebetulan masuk playground tersebut gratis, tis. Hehe, cari yang irit-irit saja.

Dua minggu kemudian kami kembali lagi untuk menjemput nenek dan atuk. Karena masih penasaran, kami mau mencoba lagi ke terminal skytrain. Tidak terlalu berharap sih, karena nenek dan atuk ternyata sudah mendarat. Mudah-mudahan masih ada waktu sementara mereka menunggu bagasi.



Inside skytrain (pict by yulia rahmita)


Ternyata skytrain sudah berfungsi, yeiii.. Tidak sampai 1 menit menunggu, kami sudah didalam kereta. Karena jalannya diatas rel yang dibuat sangat tinggi, rasanya seperti naik kereta gantung. Suara mesin kereta juga sangat lembut. Kami bicara hampir-hampir berbisik, begitu juga penumpang yanglain. Tapi begitu menyaksikan pemandangan pesawat berderet-deret di bandara, anak-anak langsung berteriak-teriak.

Inside skytrain (pict by yulia rahmita)



Sampai di terminal 2 kami turun dan sudah menunggu kereta yang kembali ke arah terminal 3. Nenek, atuk dan mamiya (kakakku) ternyata sudah duduk-duduk llllldi lantai bawah ketika kami turun dari skytrain. Anak-anak terutama yang kecil melompat-lompat begitu bertemu kembali dengan nenek dan atuknya.


Monday, March 12, 2018

Menjadi Stay at Home Mom

Getty images / Tang ming Tung


Sebelum menikah dulu, saya sangat mengidamkan calon suami saya meminta untuk stay at home. Kenapa? Karena saya sudah lelah dengan rutinitas bekerja di kantor. Bangun pagi, terburu-buru sholat, dan bersiap-siap sampai rapi memakai baju kantor. Setelah itu rutinitas perjalanan ke kantor. Sesampainya di kantor, jarang kita langsung duduk dan bekerja. Bagi saya rutinitas pulang pergi rumah-kantor itu seperti perampas waktu. Itu perasaan saya belum punya anak, apalagi setelah punya anak. Rasanya waktu yg terpakai di perjalanan bagi saya sungguh suatu kemubaziran. Lebih baik untuk baca-baca buku di rumah sambil memperhatikan anak-anak.

Syukurlah calon suami yang sekarang telah menjadi ayah anak-anak saya kebetulan juga ingin punya istri yang tidak bekerja kantoran. Waktu itu bahkan sepertinya calon suami saya itu sempat merasa agak-agak kurang berani mengungkapkan keinginannya. Mungkin karena pekerjaan saya waktu itu cukup lumayan, dan juga saya sepertinya (dari luar) menikmati pekerjaan saya. Haha, padahal dalam hati saya berkata yesss, finally I can quit the job!!

Setelah menikah, saya sempat pindah kantor sejenak karena belum dikaruniai anak. Waktu itu juga sambil menyelesaikan studi S2. Sebulan menyusul kelulusan saya berkesempatan menemani suami melanjutkan studi S2 di luar Indonesia. Anak pertama kami kebetulan lahir di USA. Kami kembali ke Indonesia ketika anak pertama kami berusia 6 bulan. Waktu itu sudah mulai sangat menikmati peran menjadi stay at home mom, hingga kembali ke Jakarta.

Kembali ke Indonesia saya dihadapkan dengan tawaran bekerja kembali. Juga beberapa teman yang kembali bekerja. Kakak-kakak, adek ipar dan saudara-saudara perempuan yang sebagian besar adalah ibu bekerja. Ada juga yang menawarkan untuk berbisnis dari rumah. Ah, saya kan sukanya bersih-bersih rumah, jalan-jalan sama anak. Memangnya harus ya cari uang sendiri? hiks..

Bagi sebagian ibu bekerja tersebut alasan utamanya adalah demi memenuhi kebutuhan keluarga, juga sebagai sarana penyaluran kemampuan. Apalagi yang jenjang karir dan gajinya sudah tinggi, berat sekali untuk melepas pekerjaannya demi menemani anak di rumah. Ketika keahlian kita terpakai di kantor, berhasil mengerjakan suatu proyek, mendapat apresiasi dari atasan dan rekan kerja, rasanya seperti soft skill yg dimiliki menjadi sangat berguna. Terlebih ketika bisa membantu keuangan keluarga, orangtua dan saudara. Otomatis rasa percaya diri akan meningkat.

Ada lagi alasan-alasan sekunder yang dilontarkan teman atau saudari saya yang masih bekerja seperti belum siap dasteran di rumah (hehe, ini sih lucu-lucuan ya), atau takut tidak bisa menahan emosi dengan kelakuan anak-anak. Terbayang ya 24 jam harus menemani mereka. Ada juga yang bilang tidak enak untuk minta-minta uang tambahan ke suami kalau uang bulanannya habis, dan sejenisnya. Tidak ada memang yang menganggap menjadi seorang stay at home mom itu mudah.

Saya sendiri sempat merasakan kegalauan yang luar biasa dan memang merasakan hal-hal yang dikhawatirkan oleh teman-teman kantoran diatas. Terutama setelah kembali ke Jakarta ini. Namun makin lama Insya Allah makin merasa nyaman dan ikhlas dengan karir yang saya jalani sebagai ibu rumah tangga ini. Terlebih karena memang suami sendiri yang meminta untuk menemani anak-anak di rumah. Disini saya merasakan faktor keinginan suami yang sangat penting dalam keputusan kita sebagai istri.

Setelah cukup sering mengikuti kajian-kajian baik secara langsung atau rekaman di video, saya mendapatkan  tambahan pencerahan bahwa wanita memang sebaiknya di rumah. Salah satunya, jika wanita banyak keluar rumah dan berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah. Selain itu tugas seorang ibu memang seharusnya sebagai tempat belajar yang pertama untuk anak-anaknya. Terlepas dari apakah ibunya sudah siap atau belum menjadi seorang ibu, apakah dia ibu yang emosian atau tidak, apakah punya asisten atau tidak,  tetap kewajibannya adalah sebagai pengajar dan pengasuh anaknya yang utama.

Nah, bagaimana jika sang ibu adalah pekerja yang memang krusial dibutuhkan di masyarakat seperti dokter atau guru? Untuk hal ini diinfokan (sumber menyusul), bahwa sang ibu boleh bekerja, namun tetap memperhatikan porsi waktu untuk anak. Selain itu memang pekerjaan seperti guru atau dokter umumnya  lebih fleksibel dibandingkan pekerjaan sebagai pegawai kantoran yang full-time dari pagi sampai sore atau malam.

Terkait dengan pengelolaan emosi di rumah, bagi saya menjadi ibu rumah tangga malah menjadi suatu pembelajaran, bisa dibilang tantangan dalam melatih kesabaran. Saya mengakui bahwa saya mudah sekali emosi, sebelum menikahpun saya suka marah-marah dan ngomel-ngomel kalau ada sedikit hal yang tidak sesuai dengan saya. Nah, apalagi menangani anak-anak yang memang otaknya belum bersambungan (meminjam istilah bu Elli Risman), sungguh suatu ujian untuk saya.

Sering saya tidak tahan untuk tidak marah, dan setelahnya rasanya sungguh menyesal, saya malah menjadi menyalahkan diri sendiri, bahkan kadang menyalahkan sekitar saya. Tapi kemudian penyesalan tentu tiada berguna kalau hanya untuk dirasa. Untuk penebus penyesalan karena emosi yang terlepas, Allah selalu menyediakan kesempatan demi kesempatan memperbaiki diri setelahnya. Pagi menyesal, siangnya berhadapan lagi, bahkan bisa juga beberapa menit setelahnya. Benar-benar ujian kesabaran menjadi seorang ibu, Masya Allah.

Tapi Alhamdulillah, reward yang saya dapatkan menjadi ibu di rumah sungguh Masya Allah. Saya tidak bisa menyesal dengan keputusan membersamai mereka sepanjang waktu. It’s worth every minute. Bisa menyaksikan perkembangan mereka setiap saat sangat tak ternilai. Waktu-waktu yang tidak akan bisa diulang. Belum lagi hiburan-hiburan dari tingkah dan ucapan mereka. Banyak momen hadiah dari Allah untuk saya setiap hari.

Semoga tulisan ini bisa menginspirasi para pembaca.  Mohon maaf jika ada yang kurang sesuai di hati. Saya berusaha sebisa mungkin sambil menulis sambil berbagi untuk menginspirasi. Jangan sampai menyinggung perasaan pembaca.

Semoga Allah senantiasa melindungi kita dan keluarga kita, Aamiin..